BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Tes Proyeksi
Dalam tulisan pertamanya, Dr. Leopold Bellak
melacak sejarah perkembangan konsep proyeksi yang sekarang ini sudah melebar
dan longgar digunakan. Atas dasra pengujian secara eksperimental maupun
deskripsi klinis yang dikemukakan oleh Freud mengenai proyeksi,
Bellakmenyatakan perlunya menetapkan dan mengkaji kembali proses-proses
perceptual yang terlibat di dalam metode proyektif. Bellak mengemukakan konsep
atau istilah apersepsi dan distorsi aperseptif dan teori belajar Gesalt
tentunya memerlukan eksperimen dan eksplorasi lebih jauh.
Formulasi yang dilakukan oleh Bellak ini menolong
dalam memecahakan beberapa probem yang dihadapi pari klinisi yang menggunakan
metode-metode proyektif. Terbentuklah suatu jembatan yang menghubungkan
psikologi nonalitik dengan psikologi analiyik yang selama ini dipisahkan.
Perkembangan psikologi proyektif banyak didasarkan sebagai protes terhadap
teori atau aliran lama yang kebanyakan bersifat structuralism, behaviorism,
yang kebanyakan memandang individu bukan suatu whole tetapi sebagai suatu
kumpulan dari berbagai aspek.
Aspek psikologis manusia yang tidak
disadari sulit diungkap dalam kondisi wajar (sukar diungkap melalui self
report, inventory). Jadi dalam pendekatan proyektif diperlukan instrument
khusus yang dapat mengungkap aspek-aspek ketidaksadaran manusia --- teknik
proyektif ini kemungkinan subjek mau merespon, walaupun teknik proyektif
mempunyai arti interpretatif Teknik ini pendekatannya menyeluruh (global
approach).
Ada beberapa alasan mengapa kepribadian testi tidak diungkap atau
ditanyakan secara langsung kepada testi, seperti pada personality inventories:
- Tidak semua orang dapat mengkomunikasikan dengan jelas ide-ide dan sikap-sikap yang ada dalam kesadarannya.
- Umumnya lebih mudah menghindari mengatakan hal-hal tersebut walaupun tidak dengan maksud menyembunyikannya atau menipu.
- Banyak hal yang tidak disadari oleh seseorang, yang tentu saja ia tidak mampu untuk mengemukakannya.
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
2.1 Sejarah Tes
Proyektif
Tes ini berawal dari lingkungan klinis dan tetap
merupakan alat yang penting bagi ahli klinis. Sejumlah metode berkembang dari
prosedur terapeutis yang digunakan pada pasien psikiatris. Dalam kerangka
teoritis, kebanyakan teknik proyektif mencerminkan pengaruh konsep
psikoanalitik yang tradisional dan modern. Ada berbagai upaya yang terpisah
yang meletakkan dasar bagi teknik proyektif dalam teori stimulus respon dan
dalam teori perceptual tentang kepribadian. Asumsi dasarnya adalah apabila
subjek atau individu dihadapkan pada hal-hal yang ambiguitas maka subjek akan
memproyeksikan personalitinya melalui jawaban-jawaban terhadap stimulus itu.
Syarat-syarat untuk proyeksi antara lain diperlukan screen dan layar. Screen adalah
sebuah alat tes untuk memproyeksikan gambar dan stimulus.
Tes proyeksi
adalah pengungkapan aspek psiklogis manusia dengan menggunakan alat proyeksi.
Tes ini berdasar pada eksternalisasi aspek-aspek psikis terutama aspek-aspek
ketidaksadaran ke dalam suatu stimulasi/rangsang yang kurang atau tidak
berstruktur yang sifatnya ambigious agar dapat memancing berbagai alternatif
jawaban tanpa dibatasi oleh apapun.
Pelopor tes
proyeksi adalah Freud (1984) dengan teori psikodinamikanya, dan kemudian
dikembangkan oleh Herman Rorschach (1921) dengan tes Rorschach dan Murray
(1935) dengan tes TAT (Thematic Apperception Test) untuk mengungkap aspek-aspek
kepribadian manusia.
Tes proyeksi
memberikan stimuli yang artinya tidak segera jelas; yaitu beberapa hal yang
berarti dia mendorong pasien untuk memproyeksikan kebutuhannya sendiri kedalam
situasi tes. Tes proyeksi kemungkinan tidak mempunyai jawaban benar atau salah,
orang yang diuji harus memberikan arti terhadap stimulus sesuai dengan
kebutuhan dalamnya, kemampuan dan pertahanannya.
Oleh karena
tes proyektif menuntut kesimpulan yang luas atau kualitatif (tend to
subjective). Kecenderungan untuk subjektif ini dapat diatasi dengan
pengetahuan, pengalaman yang besar terhadap tes. Validitas dan reliabilitas tes
rendah, karena dalam memberikan kesimpulan sangat luas.
Pengertian proyeksi tidaklah dapat
didefinisikan secara pasti. Munculnya konsep-konsep yang ingin menerangkan
pengertian proyeksi diwarnai dengan problem-problem mengenai konsep proyeksi
itu sendiri. Proyeksi adalah suatu
istilah yang sekarang digunakan dalam psikologi klinis, psikologi
dinamik dan psikologi sosial.
Psikologi proyeksi merupakan dasar dari berbagai
macam bentuk proteksi termasuk tes-tes proyektif yang bersifat verbal maupun
non verbal. Istilah proyeksi pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud pada
awal-awal tahun 1894 dalam tulisannya “The Anxiety Neurosis” yang mengatakan
bahwa “Jiwa manusia memiliki potensi untuk mengembangkan kecemasan yang
neurotis disaat dirinya merasa tidak mampu mengatasi rangsangan atau
gairah-gairah seksual. Hal itu diartikan bahwa jiwa bertindak seolah-olah telah memproyeksikan gairah-gairah ini ke
dalam dunia luar.
Pada tahun 1896 dalam tulisan “On The Defense
Neuropsychosis” Freud menyampaikan elaborasi lebih jauh mengenai konsep
proyeksi. Secara eksplisit Freud mengatakan bahwa proyeksi merupakan proses
pelampiasan keluar dorongan-dorongan, perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen
yang ada pada diri individu ke orang lain atau dunia luar sebagai proses yang
sifatnya defensif dan individu tidak menyadari fenomena yang terjadi pada
dirinya.
Freud memberi contoh elaborasi tersebut melalui
kasus Schreber (penderita paranoid yang memiliki kecenderungan homoseksual). Karena ada
tekanan dari super ego yang tidak memperbolah kan pria mencintai sejenisnya
terjadi reaksi formasi dalam membentuk menransfer suatu sikap “I Love him”
menjadi “I hate him” (proyeksi benci yang sebenarnya cinta). “I hate him” masih
ada kelanjutannya menjadi “He hates him”.
Konsep proyeksi Freud ini serupa dengan konsep
kompensasi dari Alder (prissip inferioritas dan kompensasi). Sejak lahir
manusia memiliki kelemahan, namun manusia tidak putus asa dengan cara melakukan
kompensasi untuk menutupi kelemahan-kelemahannya. Bentuk kompensasi Alder ini
sama dengan proyeksi.
Healy, Bronner, dan Brouer menyatakan bahwa proyeksi merupakan proses
defensive dibawah kekuasan prinsip kenikmatan. Ego akan selalu melampiaskan
dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan yang tidak disadari ke dunia.
Pada dasarnya memang tidak banyak ahli yang
memberikan pengertian atau definisi mengenai proyeksi. Oleh karena itu
pengertiannya pun menjadi terbatas. Freud sebagai ahli pertama yang memberikan
pengertian konsep proyeksi lebih memfokuskan dibidang klinis karena sesuai
dengan asal usulnya freud memang banyak menemukan gejala perilaku proyeksi dari
kasus-kasus klinis yaitu psikosa dan neurosa. Pada akhirnya konsep proyeksi
menjadi paling banyak dipakai dibidang klinis.
2.2 Pengertian Tes
Proyektif
Tes proyektif adalah alat yang memungkinkan untuk
mengungkap motif, nilai, keadaan emosi, need
yang sukar diungkap dalam situasi wajar dengan cara individu memproyeksikan
pribadinya melalui objek diluar individu.
Dalam tes proyeksi, bila subjek dihadapkan pada materi
atau stimulus yang sifatnya ambiguous, kemudian subjek diminta untuk memberi
respon terhadap stimulus tersebut, subjek akan memberi respon dengan cara
memproyeksikan dorongan-dorongan yang ada pada dirinya dalam perbuatan yang
biasanya melalui koreksi/kerjasama dengan tuntutan-tuntutan yang bersifat
eksternal. Menurut Murray, reaksi individu terhadap stimulus ambiguous tersebut
merupakan kerjasama atau interaksi antara need dan press yang disebut thema.
Tes proyeksi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu;
1. Verbal :
Baik materi, komunikasi antara testi dengan tester dan respon subjek berwujud
verbal (lisan, maupun tulisan).
Sejarah timbulnya tes
proyektif verbal
Berawal
dari teknik free association dari Freud dan kemudian dikembangkan oleh:
· Galton (1829) dalam
bentuk word technique. Tujuannya
untuk mengungkap ketidaksadaran (konflik, ketegangan, frustasi), juga mengukur
aktivitas sosial dan minat individu. Awalnya tes ini digunakan untuk mengatahui
eksplorasi dan proses berpikir seseorang, menggunakan 75 kata yang
masing-masing ditulis dalam satu kartu penyajiannya. Subjek disodorkan
masing-masing kartu dan menjawab atau merespon apa yang pertana kali muncul
dalam pikirannya. Jawaban boleh lebih dari satu. Hal yang perlu diperhatikan
adalah ekspresi subjek, dan bagaimana cara menjawabnya.
· Wundt tetap menggunakan
75 kata, hanya saja dalam menjawab subjek hanya dibatasi satu jawaban.
Tujuannya untuk lebih sempurna dalam mengungkap ketidaksadaran subjek. Hal yang
perlu diperhatikan adalah ekspresi subjek waktu menjawab dan waktu reaksi.
Mengamati waktu reaksi berguna bagi tester untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan adanya hambatan-hambatan dari subjek.
· Rappaport menggunakan
60 kata yang didasarkan pada teori teori psikoanalisa. Tujuannya untuk
menggungkap konflik-konflik psikoseksual, kelemahan-kelamahan dalam proses
berpikir yang dihubungkan dengan konflik-konflik internal. Hal yang perlu
diperhatikan adalah waktu reaksi dan contentnya (apakah populer atau original)
· Kent & Risanoff
menggunakan 100 kata yang sifatnya umum dan netral, didasarkan pada teori-teori
psikoanalisa. Tujuannya untuk mengungkap gangguan emosi. Jawaban subjek
dicocokkan dengan standar yang ada. Bila diluar standar subjek di perkirakan
memiliki hambatan emosi.
·
J.M. Sacks Sidzney Levy
menciptakan tes proyektif yang dikenal dengan nama SSCT (Sack Sentence
Completion Test) tes ini terdiri 60 item (kalimat) yang belum selesai dan
subjek diminta untuk melengkapi atau menyelesaikan dengan mengemukakkan apa
yang akan pertama kali muncul.
SSCT banyak
dipergunakan dalam bimbingan dan penyuluhan atau terapi, dan secara umum
mengungkap 4 hal yaitu:
1. Sikap individu terhadap keluarga
2. Sikap individu terhadap seks
3. Sikap individu terhadap hubungan
interpersonal
4. Sikap individu terhadap konsep diri
2. Non verbal:
Wujud materi bukan dalam bentuk bahasa. Faktor bahasa hanya berperan untuk
komunikasi antara testi dan tester.
2.3 Prinsip Dasar Tes
Proyeksi
1. Stimulusnya
bersifat tidak berstruktur yang memungkinkan subjek mempunyai alternatif
pilihan yang banyak.
2. Stimulusnya
bersifat ambiguous yang memungkinkan subjek merespon stimulus atau materi tes
sesuai dengan interpretasi masing-masing.
3. Stimulusnya
bersifat kurang mempunyai objektivitas relatif. Sifat ini memudahkan untuk
mendapatkan individual difference karena masing-masing subjek memiliki
kesimpulan yang berbeda-beda dalam mengamati stimulus yang dihadapkan padanya.
4. Global Approach
yang artinya menuntut kesimpulan yang luas.
Sifat-sifat tersebut di atas,
(terutama ciri pertama dan kedua) memungkinkan individu memproyeksikan need,
emosi, motif, dan isi ketidaksadaran lainnya. Disamping ciri-ciri di atas ada
ciri-ciri lain dari tekhnik proyektif yang mungkin hanya dimiliki oleh beberapa
tes proyektif saja contohnya TAT. Ciri-ciri tersebut adalah :
1.
Polivalensi.
Mempunyai banyak kemungkinan.
Kartu-kartu dalam TAT terdiri dari berbagai kemungkinan atau situasi;
a. Figur
jelas-latar belakang kabur
b. Latar
belakang kabur-figur jelas
c. Figur
jelas-latar belakang jelas
d. Figur
kabur-latar belakang kabur
2. Polisemi
yaitu salah satu jelas salah satu kabur.
Maksudnya, bisa figurnya yang jelas namun latar belakangnya kabur atau
sebaliknya. Dalam merespon subjek harus mengidentifikasi/membuat kepastian pada
stimulus/materi yang dibuat kabur.
3. Monosemi
yaitu baik figure maupun latar belakang
kedua-duanya relative jelas. Hal ini memungkinkan untuk didapatkannya respon
yang relatif sama dari para subjek.
4. Asemi
yaitu baik figure maupun latar belakang
kedua-duanya kabur. Stimulus/materi demikian diyakini lebih mampu mengungkap
ketidaksadaran.
2.4 Perbedaan
tes proyeksi dan tes nonproyeksi
Berdasarkan aspek mental dan psikologis yang di ungkap, secara garis besar,
tes psikologi dibagi menjaadi dua jenis yaitu, integensi dan kepribadian, dalam
tes kepribadian, di kenal dua jenis tes yaitu, tes proyeksi dan tes non
proyeksi.
- Tes Proyeksi
Tes proyeksi
adalah tes yang disusun atas dasar penggunaan mekanisme proyeksi. Penugasan
terhadap perilaku tes (testee) adalah proyeksi yang bersifat tak berstruktur
yang memungkinkan aneka ragam jawaban sehingga kehidupan awal seseorang bias
bergerak sebebas mungkin
Yang melatarbelakngi teknik ini adalah teori
psikoanalisis freud. Pendekatan psikoanalisis yakin bahwa hal yang terpenting
dalam aspek kepribadian adalah hal justru hal yang tidak disadarai dan sulit di
buka melalui self report.
Menurut lindzey, proyeksi memiliki 2 pengertian:
a. Classic
projection (freud)
Proyeksi dilihat sebagai suatu mekanisme
pertahanan (defence mechanism) dan merupakan suatu kondisi patologis.
b.
Generalized
projection, yaitu suatu proses yang normal yang terjadi pada manusia.
2. Tes Non Proyeksi.
Tes non proyeksi adalah tes kepribadian yang disusun dengan tidak
mempertimbangkan adanya proyeksi. Beberapa
jenis tes non proyeksi adalah
Tes Kepribadian (ARES)
1.
Tes L & TW (Leadership dan Team
Work
2.
Tes Wiggly Block
3.
Tes Kraeplin
4.
EPPS (
edward Personal Preference Schedule)
5.
MMPI
(Minessota Multiphasic Personality Inventory)
6.
16 PF
CAQ (Clinical Analysis Questioners)
2.5 Teknik-teknik
Penyajian Tes Proyeksi
- Stimulus tidak berstruktur --- Stimulus yang diberikan (tes) tidak terstruktur seperti tes intelegensi.
- Proses proyeksi --- pengungkapan keadaan psikologi klien dengan memproyeksikannya dalam bentuk reaksi terhadap tes yang disajikan.
- Administrasi longgar --- Administrasi tes proyeksi biasanya tidak ada aturan baku, tergantung dengan kebutuhan klien dengan catatan tidak mempengaruhi hasil tes.
- Testee oriented --- tes ini berorientasi pada testee
- Unsur subjektifitas dalam interpretasi --- Dalam menginterpretasikan tes ini, unsure subjektivitas psikolog sangat berpengaruh.
- Menyentuh bawah sadar --- tes proyeksi membantu mengungkapkan keadaan bawah sadar manusia.
2.6 Fungsi Tes
Proyeksi
Tes proyeksi berfungsi untuk mengungkap keadaan psikologi bawah sadar
manusia yang selama ini di repres kealam bawah sadar. Melalui tes proyeksi ini
diharapkan dinamika psikologis itu dapat dikeluarkan melalui alat bantu tes-tes
proyeksi. Sebagai sebuah tes, tes proyeksi mempunyai kelebihan dan kekurangan
jika dibandingkan dengan tes-tes psikologi yang lain.
2.7 Klasifikasi Tes
Proyektif
1. Menurut
L.K. Frank
Kalsifikasi
dari L.K. Frank merupakan klasifikasi yang paling banyak diterima dasar
pengkalsifikasiannya adalah sifat respon subjek. Klasifikasi tersebut adalah:
a.
Teknik konstitutif
(menyusun)
Subjek
diberikan materi yang belum berstruktur, kemudian subjek diminta untuk memberi
struktur.
Contoh
: Test Wartegg, Test Rorschach, Test Finger Printing
b. Teknik konstruktif
(membentuk)
Subjek
diberikan materi yang belum berbentuk, kemudian diminta untuk membentuk
Bedanya
dengan teknik konstitutif,teknik konstruktif materinya lebih mentah dan lebih
“free expression” bagi subjek.
Contoh
: Mozaic Test,sub test Block design (dalam WAIS) , sub tes merakit objek (dalam
WAIS) .
c. Teknik interpretative
(menginterpretasi)
Subjek
diberikan materi kemudian diminta untuk menginterpretasi.
Contoh
: TAT, CAT,Word Association Test (misalnya SSCT).
d. Teknik katartik
Tujuan
/ fungsi dari teknik ini adalah pada saat subjek merespon akan terjadi
pengurangan hambatan-hambatan psikis.
Contoh
: Play Technique( dengan bermain,psikodrama),Lowenfeld Mozaic.
e. Teknik refraktif/
ekspresif (tambahan dari SYMOND)
Subjek
diberikan materi / stimulus, kemudian subjek diminta mengekspresikan need,
sentiment, dan lain-lain yang ada padanya.
Contoh
: Test Grafis,Grafologi,Tes Bender Gestalt,Myokenetic,Diagnosis.
2. Menurut
Lindzey
Dasar pengkalsifikasian Lindzey adalah
tipe jawaban subjek. kalsifikasinya terbagi menjadi :
a.
Teknik Asosiasi
Subjek
diberikan materi kemudian subjek diminta untuk merespon dengan cara
mengeluarkan/ menyampaikan apa yang pertama kali muncul dalam pikirannya atas
stimulus tersebut.
Contoh
: Test Rorschach, SSCT.
b.
Teknik konstruksi
Subjek
diminta untuk menyusun materi yang belum berbentuk menjadi suatu cerita/gambar.
Fokusnya adalah pada hasil subjek.
Contoh
: TAT,CAT,sub test mengatur gambar (dalam WAIS).
c.
Teknik melengkapi
Subjek
diberi materi yg belum lengkap kemudian diminta untuk melengkapi.
Contoh
: SSCT
d.
Teknik mengatur
Subjek
diberi materi/soal yang ada alternative jawaban kemudian diminta untuk memilih
jawaban yang sesuai dengan dirinya/ membuat urutan atas dasar pilihan jawaban
yang ada.
Contoh
: Study Of value,survey interpersonal value,test-test untuk mengukur tingkat
kebutuhan berprestasi, test-test mengukur kreatifitas.
e.
Teknik ekspresfif
Hampir
mirip dengan teknik konstruksi, hanya saja materi yang harus dibentuk sifatnya
lebih mentah. Fokusnya adalah pada cara subjek menyelesaikan materi. Contoh :
Finger Printing Test,Project terapy,Achievment Motivation Training(AMT).
2.8 Evaluasi Teknik
Proyektif
Kelebihan
- Dapat mengungkap hal-hal di bawah sadar untuk keperluan klinis
- Dapat menurunkan ketegangan
- Bersifat ekonomis
§
Rapport
dan keleluasaan penggunaan
Kekurangan
- Validitas dan reliabilitasnya rendah
- Tester harus memiliki keterampilan yang khusus untuk dapat menggunakan tes ini dalam kaitannya dengan ketepatan melakukan diagnose.
- Interpretasinya bisa subyektif
- Butuh license untuk menginterpretasinya (psikolog)
- Interpretasinya susah, administrasinya juga lumayan karena harus observasi dan denger klien juga.
- Ujiian ini hanya diadministrasi oleh seorang psikolog yang berpengalaman dalam menggunakan alat itu dan ahli dalam menafsirkannya
- Dari ujian ini pada objek yang sama dapat disimpulkan berbeda oleh pengamat yang berbeda. Pada beberapa hal teknik proyektif mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain (anastasi, 1982).
- Rapport dan Keleluasaan Penggunaan. Sebagian besar teknik proyektif dapat berfungsi sebagai ice breaker selama terjalinnya hubungan antara terter dan testi. Tugas-tugasnya menarik dan tidak membosankan, bahkan seringkali bersifat menghibur.
- Teknik proyektif non verbal dapat digunakan untuk anak-anak, mereka yang buta huruf, dan orang-orang dengan gangguan bicara. Media non verbal ini sangat membantu testi dalam berkomunikasi dengan tester.
2. Faking
Pada umunya teknik proyektif dapat
terhindar dari kecenderungan terjadinya faking, dibandingkan dengan self
report. Tujuan dari teknik proyektif seringkali kabur dan sulit ditebak, bahkan
teknik prroyektif yang sudah sangat dikenal seperti Rorshcach dan TAT. Testi
lebih memikirkan respon apa yang akan dibuat, daripada menebak tujuan dari tes
itu sendiri.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa
teknik proyektif bebas sepenuhnya dari faking. Dari penelitian yang dilakukan
oleh, Davids dan Pildner (anastasi, 1982) menunjukkan bahwa subjek yang
mengerjakan tes untuk tujuan melamar pekerjaan menunjukkan hasil yang lebih
akurat dibandingkan dengan subjek yang mengerjakan tes untuk penelitian.
3. Variable
Tester dan Situasi
Sudah dijelaskan bahwa sebagian besar
teknik proyektif lemah dalam standardisasi baik administrasi maupun skoringnya.
Oleh karena itu untuk hasil yang akurat factor tester dan situasi tes menjadi
sangat penting. Kadang-kadang sikap dan perilaku tester dikesankan oleh testi
sebagai menggurui, mendikte, atau mengarahkan pada respon tertentu. Hal ini
akan mempengaruhi produktifitas respon, defens, imajinasi dari klien. Tidak
adanya pedoman skoring yang baku menyebabkan subjektifitas tester mempengaruhi
hasil. Dengan kata lain interpretasi dari teknik proyektif dapat terjebak dalam
orientasi teoriti, hipotesis yang menyenangkan, dan kepribadian idiosinkrasi
dari tester, ketimbang dinamika kepribadian tester.
4. Norma
Kelemahan dari teknik proyektif adalah
data normative. Sejumlah data mungkin sangat kurang, tidak adekuat, atau
meragukan. Hal ini juga akan berpengaruh
pada objektifitas interpertasi. Kebanyakan para klinisi akan menggunakan
pengalaman klinisnya dalam interpretasi, sehingga hasilnya menjadi bias.
5. Reliabilitas
Sebuah teknik, seperti halnya teknik
proyektif, yang dianggap mempunyai prosedur skoring yangrelatif kurang
terstandar, realibilitas skorer atau penilai menjadi sangat penting. Pada
teknik proyektif, realibilitas skorer tidak sekedar memberikan skoring yang
objektif, tetapi juga merupakan tahap memberikan integrasi dan interpretasi
secara lengkap.beberapa skorer memberikan penilaian p[ada seorang tester, untuk
kemudian dilihat konsistensi hasil skoringnya. Semakin konsistens hasilnya,
menunjukan relibilitas yang tinggi; sebaliknya konsistensi yang rendah,
menunjukan realibilitas yang rendah pula.
6. Validitas
Studi tentang validitas teknik proyektif
yang banyak dilakukan adalah concurrent criterion-related validity. Dengan cara
membandingkan performansi dari kelompok-kelompok kontras, seperti kelompok
okupasional dengan kelompok diagnostic, dengan menggunakan alat ukur lain yang
mengungkap hal yang sama.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Psikologi proyeksi merupakan dasar dari berbagai
macam bentuk proteksi, termasuk tes-tes proyektif yang bersifat verbal maupun
non verbal.
Pada dasarnya memang tidak banyak ahli yang
memberikan pengertian atau definisi mengenai proyeksi. Oleh karena itu
pengertiannya pun menjadi terbatas. Freud sebagai ahli pertama yang memberikan
pengertian konsep proyeksi lebih memfokuskan dibidang klinis karena sesuai
dengan asal usulnya freud memang banyak menemukan gejala perilaku proyeksi dari
kasus-kasus klinis yaitu psikosa dan neurosa. Pada akhirnya konsep proyeksi
menjadi paling banyak dipakai dibidang klinis. Teori
yang melandasi tes nonkognitif adalah psikoanalisa dan behavioristik.
Kelebihan tes proyektif adalah kelebihan atribut
psikologis dalam tes dapat dideskripsikan dengan jelas dan tepat. Sedangkan kekurangan tes proyektif adalah validitas
dan reliabilitasnya rendah.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Karmiyati, diah & Cahyaning
Suryaningrum. Pengantar psikologi proyektif . Bandung : UMM Press.
·
Markam, S.S. Pengantar Psikodiagnostik. Jakarta :
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
·
Anastasi, A &
Urbina, S (2007). Tes Psikologi, Edisi
Ketujuh (Terjemahan). Jakarta: PT Indeks.
Makasi banyak kak, sangat membantu
BalasHapus