Penegertian internet adiksi
Internet addiction oleh
Young (dalam Tuapattimaja & Rahayu) diungkapkan sebagai sebuah syndrome
yang ditandai dengan menghabiskan banyak waktu dalam menggunakan internet dan
tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online, orang-orang yang menunjukkan
syndrome ini akan merasa cemas, depresi,atau hampa saat tidak online di
internet serta menyebabkan korbannya mulai menyembunyikan tingkat
ketergantungannya terhadap internet tersebut.
Penggunaan internet
yang berlebihan mencapai presentase 52% sangat jauh berbeda dengan yang
kecanduan internet yang hanya mencapai 8% saja. Walaupun masalah kecanduan
internet hanya mencapai presentase yang sedikit, tetapi melihat presentase
penggunaan internet yang berlebihan mencapai 52% perlu diperhatikan lagi
permasalahan ini, karena kecanduan internet bermula dari keasyikan kita
berlama-lama menggunakan internet, lambat laun kita akan merasa cemas dengan
tidak bermain internet, dan lama-kelamaan akan menjadi pecandu internet yang
sulit lepas dari internet dan berdampak kurang baik dalam aspek psikologis
(neuroticism, extraversion, kecemasan sosial, kesepian emosional, kesepian
sosial, dukungan sosial, dan dukungan sosial internet).
CONTOH KASUS
Baru bangun tidur,
setelah semalaman beristirahat, langsung pegang gadget. Bisa BBM, tablet, atau
laptop. Lho, ada perlu apa? Untuk kembali online dan melihat kabar dari
teman-teman di jejaring sosial. Ada yang semalam suntuk tidak bisa tidur, ada
yang mengomentari pertandingan bola, ada yang sharing macam-macam. Tips, curhat
soal teman atau kekasih, berita-berita politik, membaca tautan dari laman
gosip, dan lainnya
Jeda kegiatan hanya
sebentar. Diselingi mandi, bersiap-siap, dan sarapan. Berangkat kerja? Menuju
kantor, kembali online, fokus pada gadget di perjalanan. Masuk kantor, kerjaan
diselingi kegiatan memperbarui dan mengomentari berbagai status teman. Jam
istirahat, apalagi. Habis makan siang, merasa mengantuk dan bosan, akhirnya
online lagi.
Pulang kerja, menemani
perjalanan di jalan, saling sapa kabar dan rencana akhir pekan. Oke, lalu
lintas yang macet cukup jadi inspirasi untuk melampiaskan kekesalan. Sampai
rumah, makan malam dan bersih-bersih. Jika sempat nonton, TV diamati. Jelang
malam, online sebentar untuk lihat apa yang terbaru. Buat status selamat malam,
dikomentari, terlibat obrolan, ngalor-ngidul, sampai tengah malam. Mata
terpejam, tidur, dan bangun pagi untuk melihat adakah lanjutan dari obrolan
semalam di jejaring sosial.
Tanpa disadari,
berselancar dan menikmati dunia maya, terutama pada jejaring sosial, telah
membuat banyak orang “ketergantungan” dengannya. Tidak berlebihan bila
dikatakan kecanduan, mengingat mereka bisa seharian memandangi layar internet.
Kaidah umumnya, segala
sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Begitu pula fenomena ini. Seorang ahli
di Malaysia mengatakan, orang yang kerap membuka jejaring sosial, baik itu di
kantor, rumah, di jalan, dan tempat lainnya, akan menjauhkannya dari interaksi
langsung dengan orang lain. Makin cepat dan mudah diakses, makin sering dan
lama, efeknya kian terasa. Psikolog dan penasihat, Adnan Omar memberi contoh
dampaknya pada pasangan.
“Contohnya, banyak
pasangan yang kehilangan kesempatan bertemu langsung atau pergi makan malam.
Mereka cukup puas dengan berinteraksi di internet, sekadar mengencek surel dari
perangkat telekomunikasi mereka.”
Hal ini patut
dikhawatirkan mengingat kemampuan interaksi kita dengan manusia lain akan
perlahan menghilang.
“Jika Anda,” lanjut
Adnan, “menghabiskan waktu sekitar 25 jam selama sepekan untuk jejaring sosial
dibandingkan beraktivitas ataupun alasan akademis lainnya, itu artinya Anda
telah kecanduan. Anda telah dimudahkan kondisi internet yang gampang tersedia,
dan Anda tak perlu mematikannya.”
Sebagai seorang
psikolog, Adnan mengungkapkan bahwa banyak pecandu jejaring sosial merasa
kecewa ketika status atau posting-nya tidak direspon. Mereka, menurut Adnan,
sebenarnya memposting berbagai macam hal untuk menunggu respons balik, sebuah
perilaku untuk memuaskan kondisi batin. Memang ada faktor lain, yaitu
menghabiskan waktu. Akan tetapi, kian mudahnya teknologi, harusnya juga
diiringi dengan kebijaksanaan. Menghabiskan waktu di jejaring sosial jelas
tidak baik dan dapat mengurangi produktivitas kerja kita.
Sumber :
http://www.mizanmag.com/denyut/jejaring-sosial-25-jam-sepekan-anda-telah-kecanduan.html#.UmkYtVM6Was